KASIH SEBAGAI SYARATNYA
KASIH SEBAGAI SYARATNYA
oleh: Fransiska Yuni Arisandi, S.Pd.
Firman Tuhan menyebutkan begini “...kuduskanlah Kristus di dalam hatimu. Bersiap
sedialah setiap saat untuk memberi pertanggungjawaban kepada tiap-tiap orang
yang meminta dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu. Tetapi semua itu
haruslah kamu lakukan dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani
yang murni supaya karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, mereka yang
memfitnah kamu menjadi malu karena fitnahan mereka itu.”
Hal tersebut hampir sama seperti yang dialami oleh Pak Ahok yang sampai dijebloskan ke
penjara.
Sungguh
luar biasa hati yang besar seperti Pak Ahok, seperti pada firman Tuhan “Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu
dikehendaki Allah, daripada menderita karena berbuat jahat. Sebab Kristus pun
telah mati .. untuk segala dosa kita.”
Nah
Yesus telah memberikan keteladanan untuk kita dengan rela wafat di kayu salib.
Tuhan
yang benar rela mati untuk kita orang-orang yang berdosa.
Dari
kerelaan Tuhan yang wafat di kayu salib sungguh terpancar kasih Tuhan yang
tiada tara.
Bagaimana
bisa kita kuat menghadapi ejean atau bahkan fitnahan atau bahkan sampai seperti
orang-orang kudus yang harus meninggal karena mengikuti Kristus?
Tentu
jawabannya adalah dengan Besar Kasih Tuhan yang senantiasa terpancar. Seperti
pada bacaan Injil “...Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong supaya Ia
menyertai kamu selama-lamanya, yaitu dengan Roh Kebenaran.”
Itulah
yang membedakan kita sebagai pengikut Kristus harus berani menderita dalam
kebenaran dan kita yakin bahwa Tuhan ada bersama kita karena Tuhan adalah
kasih.
Maka
tugas kita adalah memancarkan kasih Tuhan juga kepada dunia kepada sesama, kita
selayaknya selalu mengaktualisasi diri dimanapun kita berada yaitu dengan
selalu menanamkan kasih.
Seperti
pada Matius 5:39-44 yang menyebutkan bahwa “Tetapi Aku berkata kepadamu:
Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun
yang menampar pipi kananmu berilah juga kepadanya pipi kirimu.”
Sungguh
berat memang mempraktikkan hal tersebut.
Dalam
hal sepele saja ketika kita dihujat atau diremehkan karena mengikut Kristus
kita seringnya tidak memancarkan Kasih Allah justru kita ikut terbakar sehingga
menjadi berdebat atau menjadi marah atau benci.
Dulu,
saya masih ingat ketika misa di kapel lalu di sebelah persis ada suara
bising motor entah bengkel atau balapan, entah disengaja atau bagaimana.
Seharusnya mereka tahu bahwa hari Minggu oh kala itu Hari Raya Natal di sebelah
ada gereja dan umat berarti sedang beribadah.
Tentu
kami geram dan jengkel, dalam hati tentu berpikiran Kok tidak punya rasa
toleransi, ingin rasanya marah lalu saya bilang ke Romo waktu itu seusai
misa.
Sungguh
terkejut saya apa yang dikatakan Romo, “Mereka tidak tahu apa yang mereka
perbuat.”
Sungguh
besar Kasih Allah untuk memaafkan orang-orang yang berusaha membubarkan kita
dalam berkonsentrasi memuji Allah.
Saya
juga masih ingat betul akan khotbah Romo Paroki kala itu sedang gencarnya
pertikaian antaragama. Romo mengatakan bahwa Allah tidak perlu dibela.
Allah tidak perlu digembor-gemborkan, justru Allah yang membela kita.
Sungguh,
kasih yang murah hati dan panjang sabar hanya dimiliki oleh para pengikut
Kristus ya kita-kita ini yang dengan kuat iman kita mengikuti Kristus.
Saya
juga membaca buku dari Desi Anwar, pembawa berita ternama dari Indonesia yang
sekarang di luar negeri, beliau menulis buku, beliau berpendidikan tinggi,
menuliskan tentang keyakinan begini kalimatnya, “Malanglah mereka yang
mempertanyakan, meremehkan, dan menyerang agama kita.” Jadi, keyakinan kita, agama
kita apakah perlu diperdebatkan?
Sekadar
berbagi pengalaman, saya dari SMP, SMA, bahkan kuliah di sekolah negeri semua,
teman saya mayoritas muslim bahkan satu kelas hanya saya sendiri yang Katolik.
Puji Tuhan, hal tersebut tidak membuat saya berkecil hati justru saya menemukan
kedamaian dari guru-guru saya, teman-teman, orang-orang di sekitar saya.
Sahabat
saya berkerudung semua, muslimah, namun mereka tidak pernah membedakan saya,
mereka menyanyangi saya dengan tulus karena mereka juga merasakan kasih dalam
diri saya (mungkin seperti itu). Mereka rela menunggu saya pulang gereja
misalkan hendak pergi-pergi atau melangsungkan acara. Mereka juga tidak segan
mengucapkan selamat Natal atau Paskah bahkan dosen saya yang muslim begitu.
Dosen
saya yang dianggap fanatik, sampai teman-teman saya berjilbab sewaktu kuliah
beliau pun membuat saya terkejut, teman-teman mengatakan bahwa dosen A ini akan
memberi nilai kalau kita terlihat alim, bla bla bla. Ketika tmn2 saya berkata
hal tsb, saya tidak takut atau ragu, yg saya niati adalah mendapatkan ilmunya.
Satu kelas hanya saya yg tidak berhijab kala itu S-1, saya memilih duduk paling
depan, saya aktif bertanya dengan sopan, mendengarkan beliau dengan saksama
yang kalau mengajar memang selalu menggunakan banyak ayat-ayat Al-Quran, bagi
saya ya yang baik saya dengarkan yang tidak baik tidak perlu.
Ternyata,
nilai saya bagus tidak seperti yang dikatakan teman-teman. Bahkan, teman saya
yang rela berjilbab demi satu matkul tersebut nilainya tidak lebih bagus dari
saya. Bahkan ketika S-2 ini saya bertemu kembali, beliau masih ingat dengan
jelas nama saya dan mengajak ngobrol.
Dari
hal tersebut, saya semakin yakin untuk tidak ragu menebarkan kasih Allah.
Kalau
saya ditanya-tanyai teman-teman seputar agama saya ya saya jelaskan dengan
penuh kasih juga, ada yang mendebat? Tentu sering, tapi saya menjawab dengan
“Saya percaya dengan apa yang saya yakini.”
Kalau
kita justru ikut terbawa emosi, terpancing, marah, balik mendebat brarti belum
ada kasih dalam diri kita.
Mengikut
Tuhan memang tidak mudah, kita akan ditawari banyak hal menggoda misal, kamu
akan saya angkat jadi ini kalau kamu mau pindah keyakinan.
Saya
juga masih ingat cerita dari Pak Pram yang pernah mengisahkan akan diangkat
jadi apa ya dulu pokoknya dinaikkan jabatan asal mau pindah agama, tetapi Pak
Pram dengan kuat menolak. Nah, hal-hal semacam inilah yang bisa kita jadikan
teladan, bahwa mengikut Kristus untuk menebarkan kasih memang tidak mudah.
Bahkan
di manapun kita berada kita selayaknya memancarkan kasih Tuhan.
Di tempat
kerja, di sekolah, di kampus, di masyarakat cerminkanlah diri kita sebagai umat
Kristiani yang penuh dengan kasih. Di tempat saya mengajar meskipun sekolah
Katolik juga banyak murid saya yang muslim krn orang tua percaya bahwa di
sekolah kami mampu membimbing dalam bidang kedisiplinan, toleransi, dan karakter.
Seharusnya
kalau kita semakin beriman kita akan semakin memiliki toleransi, bahwa kita
diciptakan memang beragam ttp pada dasarnya kita sama yaitu dari keturunan Adam
dan Hawa.
Pastilah
semua agama mengajarkan kebaikan, mau Hindu, Budha, Islam, nah yang sering
salah adalah manusianya dalam menafsirkan. Semua agama juga tujuannya sama
yaitu surga dengan cara yang berbeda-beda. Kita mau ke Indomart ya banyak
jalan, bisa lewat pos kulon, lewat depan gereja, lewat curah etan, tujuannya
sama yaitu ke Indomart.
Semakin
kuat iman kita, semakin besar kasih Allah dalam hidup kita, kita juga akan
semakin tangguh menghadapi cobaan dunia ini.
Nah,
dari mana kekuatan tersebut? Tentu dari kita banyak membaca atau mendengarkan
firman Tuhan, dari kita banyak berdoa dan mengucap syukur. Dari keyakinan kita
bahwa Tuhan selalu hadir dan mengasihi umat-Nya.
Sekitar
3 tahun lalu, saya pernah membuat lagu rohani yang cuplikannya begini
“Besar
Kasih-Mu ya Tuhan, Ajaib Kuasa-Mu ya Tuhan, Kau mengangkat hidupku dalam
rancangan-Mu, sungguh
besar kasih-Mu di hidup-ku.”
Sebagai
manusia biasa tentu kita sering sekali dihadapkan dengan beragam masalah, kita
sedih, terpuruk tapi yakinlah bahwa Tuhan selalu hadir menguatkan kita.
Berbanggalah
kita, meskipun kita minoritas, meskipun kita kecil, namun kasih kita besar,
kita penuh dg kasih dan itu blm tntu dimiliki yang lain.
Karena
memang begitu besar kasih Allah akan dunia hingga mengaruniakan Anak-Nya yang
Tunggal Tuhan kita. Pengikut Kristus? Kasih sebagai syaratnya karena Allah
adalah kasih. Amin.
Komentar